photo Dewata_zps19e63d5d.gif

Apa Kabar Buleleng - Pura Penyusuhan Kubutambahan, Penuh dengan Aura Mistis

Apa Kabar Buleleng - Pura Penyusuhan Kubutambahan, Penuh dengan Aura Mistis
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhpWRokcy1ZaC-_xp0-l1HLV-0nd9HN5ZhYBjnUfPRHn71P3unHRy7PhfccD9PQkbraah7MaZZ7QnF2FHqB_2SOlcWQtChimMXDRdjpLhr2q7kLeEkuhw0PYyD8x5CjFvaWecgX1dNJiA/s72-c/penegil2.JPG
Berita Buleleng, 
Pura Penegil Dharma dengan Pura Prasanaknya ini terletak di Desa Kubutambahan dan Desa Bulian, Buleleng Utara. Pura Penegil Dharma ini pada mulanya bernama Pura Penyusuhan yang bentuknya hanya sebongkah batu hitam yang sangat kuno namun ada sesuatu yang magis religius di balik bentuk sederhana itu.  

Sekitar tahun 1994 rombongan dosen Fakultas Teknik atas undangan umat berkunjung ke kaki Gunung Raung di Banyuwangi dan juga ke sebuah Petilasan di Alas Purwo untuk sembahyang. Persembahyangan itu sangatlah khusyuk. Dalam persembahyangan yang sangat hening itu ada salah seorang dosen mendapatkan bisikan spiritual. Isi petunjuk spiritual itu agar umat Hindu segera melestarikan tempat-tempat pemujaan atau pura yang ada di Gigir Manuk. Umat telah lama lupa pada tempat pemujaan Ida Batara di Pura Penegil Dharma.


Petunjuk spiritual itu diyakini kebenarannya oleh para dosen yang ikut sembahyang saat itu. Para dosen pun siap memberi bantuan teknik kalau ada pemugaran pura yang dimaksud. Setelah itu Pura Penegil Dharma itu pun dicari. Ternyata yang dimaksud Pura Penegil Dharma itu adalah Pura Penyusuhan yang ada di Desa Kubu Tambahan. Kata ''susuh'' itu adalah bahasa Jawa yang artinya ''tegil'' ayam dalam bahasa Balinya. Sejak itulah Pura Penyusuhan mendapat nama Pura Penegil Dharma. Nama inilah yang sekarang lebih dikenal luas oleh umat Hindu di Bali.
Setelah melalui berbagai pembahasan yang mendalam maka terbentuklah Panitia Pemugaran Pura Penegil Dharma dan Prasanaknya. Panitia pemugaran itu diketuai oleh Drs. Putu Armaya. Sebelumnya Dekan Fakultas Teknik membentuk juga panitia bantuan di bidang teknik yang diketuai oleh Ir. I Gusti Lanang Utawa pada Mei 1995.
Pura Penegil Dharma termasuk pura pesanakannya berjumlah sembilan pura. Enam pura di Desa Kubu Tambahan dan tiga pura di Desa Bulian. Di timur laut Desa Kubu Tambahan terdapat enam buah pura yaitu Pura Penyusuhan (Pura Penegil Dharma), Pura Pande, Pura Kerta Negara Gambur Anglayang, Pura Dalem Puri, Pura Patih dan Pura Madue Karang. Tiga buah pura di Desa Bulian yaitu Pura Candri Manik, Pura Sang Cempaka (Mahisa Cempaka) dan Pura Gede.

Di Pura Kerta Negara Gambur Anglayang di sebelah barat laut Pura Penegil Dharma. Pura ini tergolong Pura Prasanak dari Pura Penegil Dharma. Di Pura Kerta Negara Gambur Anglayang ini di samping ada Padmasana terdapat pelinggih-pelinggih untuk memuja Ida Ratu Pasundan, Ida Ratu Pamelayu, Ida Ratu Agung Dalem Mekah, Ida Ratu Manik Subandar dan Ida Batari Sri (Medang Kamulan).
Di pura ini nampaknya dipuja roh suci dari berbagai tokoh yang memiliki keyakinan yang berbeda-beda namun tetap rukun dan damai dalam membina kehidupannya. Hakikat Tuhan itu adalah Mahaesa. Tuhan Yang Mahaesa itu dipuja oleh setiap umat dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Setiap sistem keyakinan menyebut Tuhan Yang Mahaesa dengan sebutan yang berbeda-beda. Sangatlah tidak pantas sebutan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Mahaesa itu dipertentangkan. Hal itu akan membuang-buang energi saja.
Pelinggih utama di Pura Penegil Dharma adalah Pelinggih Gedong yang disangga Badawang Nala. Menurut Ida Pandita Sri Bhagawan Wira Panji Yoginanda, pada awalnya Pura Penegil Dharma ini ditemukan bongkahan batu yang cukup unik dan ada vibrasi spiritual yang sangat luar biasa di balik bentuk sederhana itu. Di tempat itulah didirikan Gedong dengan alas Badawang Nala. Pura Penegil Dharma ini menurut diktat sejarah Pura Penegil Dharma dan Prasanaknya didirikan pada awalnya oleh dinasti Raja Warmadesa dalam wujud yang sangat sederhana.
Keberadaan Pura Penegil Dharma seperti sekarang ini berkat kerja keras Panitya Pemugaran Pura Penegil Dharma dan Prasanaknya yang diketuai oleh Drs. Putu Armaya di Pura Penegil Dharma ini beliau dipuja dengan gelar ''Batara Prameswara Sri Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana''.
* Ketut Gobyah
PURA PENEGIL DHARMA BERAWAL DARI KERAJAAN KAWISTA
Pura Penegil Dharma berada di wilayah Desa Kubutambahan Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Pura yang tergolong Kahyangan Jagat Nusantara ini sering pula disebut Pura Puseh Penegil Dharma atau Penyusu Dharma. Berdasarkan penuturan Ulu Krama Pura Penegil Dharma Prof. Putu Armaya, pura ini merupakan pura tertua di Bali dan menjadi cikal-bakal Bali. Sebagai pusat kesucian bhuwana agung. Sejarah pendirian pura ini dimulai pada 915 Masehi.
Menurut Prof. Armaya, keberadaan Pura Penegil Dharma tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Ugrasena, pendiri Dinasti Warmadewa dan Maha Rsi Markania atau yang disebut masyarakat Bali sebagai Rsi Markandea. Pura Penegil Dharma sudah ada sebelum Majapahit datang ke Bali. Saat itu Bali masih menyatu dengan Pulau Jawa dan berada di ujung timur pulau itu. Dahulu Bali bernama Prawali. "Itu berdasarkan prasasti Mataram I," ucap ahli sejarah yang pernah jadi Ketua DPRD Buleleng pada 1977 ini.
Dalam prasasti itu juga tertulis bahwa Gunung Merapi meletus hebat pada 914 Masehi. Letusannya menghancurkan ibu kota Kerajaan Mataram I yang berpusat di Candi Boko, Jawa Tengah, di mana penduduknya menganut agama Siwa. Raja Mataram I Sri Sanjaya meninggal karena bencana itu. Kemudian masyarakat setempat yang selamat dipimpin Mpu Sindok mencari tempat baru untuk mendirikan kerajaan.
Mereka menyusuri perbukitan selatan Pulau Jawa. Di lereng Gunung Semeru rombongan itu menemukan aliran sungai bernama Berantas. Akhirnya di tepi sungai itu, Mpu Sindok yang begelar Rakai Hino membangun kerajaan yang diberi nama Kahuripan.
Sementara Ugrasena, salah seorang anggota keluarga Raja Mataram I tidak ingin turut membangun Kahuripan. Hal tersebut karena dalam meditasinya di Candi Boko, Ugrasena yang seorang spiritualis tinggi itu melihat pralingga Ida Sang Hyang Widhi di ujung timur Pulau Jawa yaitu Prawali bersinar berkilauan. Ugrasena lalu berniat membangun pusat kerajaan baru di Prawali.
Di Kahuripan, Ugrasena mendengar bahwa ada parekan Ida Sang Hyang Widhi sedang bertapa di Puncak Gunung Semeru. Namanya Maha Rsi Markania. Nama "Markania" berasal dari kata "parekan". Ugrasena lalu menghubungi Maha Rsi itu dan bersama-sama mencari pralingga di Prawali. Bersama sebagian rakyat Mataram I mereka akhirnya menemukan pralingga tersebut di tepi danau yang kemudian diberi nama Kawista yang artinya buah bila.
Kawista ini juga singkatan dari "Kawi Prayascita", bermakna wilayah Kawista sebagai ibu kota yang sudah suci karena titah (takdir) sebelum campur tangan manusia yang mengupacarai kesuciannya. Maha Rsi Markania mengatakan tempat itu Gigir Manuk yang berada di wilayah Desa Kubutambahan hingga Air Lutung (Ponjok Batu).
Kawista dibangun menjadi pusat kerajaan, istana, agama dan petirtaan karena di dalam danau itu ada 118 mata air suci. Ugrasena menjadi Raja Kawista dengan gelar Kesari Warmadewa. Sementara Senapati Kuturan atau Menteri Agama dijabat Rsi Markania yang merangkap sebagai penasihat raja. Kawista inilah nantinya menjadi Pura Penegil Dharma.
Batas wilayah Kawista di arah utara adalah laut yang ada hutan bakau sepanjang 200 meter. Di dalamnya terdapat laguna yaitu danau air tawar yang tembus ke laut. Timur: Ponjok Batu (Air Lutung). Selatan: Paradayan Air Tabar (sekarang jadi Desa Bayad, Tajun, Tunjung, Depeha). Barat daya: Bila (sekarang jadi Bila Tua, Bila Bajang, Bengkala, Tamblang) dan di arah barat: Air Raya (Tukad Aya).
Di Istana Kawista inilah lahir keturunan Dinasti Warmadewa yaitu putra-putra Kesari Warmadewa. Pertama Janasadhu Warmadewa dengan permaisurinya Sri Wijaya Mahadewi yang menurunkan Udayana. Udayana memiliki permaisuri Mahendradatta, yaitu mindon-nya dari Kerajaan Kahuripan. Keturunan selanjutnya dari Dinasti Warmadewa yaitu Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu tidak menghasilkan keturunan (ceput) sehingga tidak ada penerus Kerajaan Kawista yang masih menyatu dengan Pulau Jawa itu. Kawista akhirnya jadi hutan rimba yang ditempati para bromocorah.
Sementara pada 1248, di Singosari dinobatkan dua pangeran muda menjadi raja kembar, setelah perebutan kekuasaan di Daha. Kedua pangeran bersepupu itu masing-masing Ranggawuni dan Mahesa Cempaka. Ranggawuni dinobatkan sebagai raja Jawa bergelar Jaya Wisnu Wardana, sedangkan Mahesa Cempaka menjadi Raja Mancanegara Nusa Atepan yang terdiri tujuh gugusan kepulauan selain Jawa. Dia juga disebut Nara Jaya atau Jaya Pangus. Sebagai raja dia bergelar Narasinga Murti. Sementara Nusa Atepan diberi nama Narasinga Negara dengan lambang singa bersayap.
Selanjutnya, Wisnu Wardana memperistri adik Narasinga Murti bernama Waninghiun. Mereka memiliki putra Kertanegara. Sejak itulah terjadi keretakan antara keluarga Wisnu Wardana dengan Narasinga Murti. Muncul isu Narasinga Murti tidak dikehendaki berada di Jawa karena dia raja mancanegara. Maka pada 1250, Narasinga Murti melacak jejak istana leluhurnya di Prawali. Tujuannya untuk dijadikan pusat kerajaan Narasinga Negara. Saat itu Prawali sudah terputus dengan Pulau Jawa dan menjadi pulau tersendiri bernama Bali. Kedua pulau itu terpisah laut sempit yang lebarnya kurang dari 100 meter sehingga diberi nama "Segara Rupet".
Akhirnya Narasinga Murti yang saat itu bernama Suradipa atau Ksatria tanah leluhur menemukan Kawista. Lahirlah istilah Pakraman I Bulian dari kata "muloyo iki pusering jagat prawali". I Bulian juga berarti tanah yang lain. Pada 1260 sesuai permintaan Pakraman Paradayan Bulian, Narasinga Murti menjadi Pasek di tempat tersebut karena sudah lama terjadi kekosongan kekuasaan di Bali. Kawista juga sudah ditempati para bromocorah yang merampok pedagang yang melewati tempat itu. Dengan menyandang nama Jayasakti, dia lalu menumpas para penjahat itu.
Pura Penegil Dharma
Setelah menumpas para penjahat, Kawista dibangun kembali menjadi areal pura. Di Pura Puseh Panegil Dharma dibangun lima pura yaitu Pura Pucaking Giri (selatan), Pura Patih Patengen Agung (utara), Pura Kertapura yang berfungsi sebagai pesamuan para raja dan patih di Narasinga Nagara (tengah), dalam telaga, Pura Taman Sari Mutering Jagat Istana Dharmadyaksa (timur) dan Pura Kerta Negara Mas sebagai istana raja.
Sementara pusat itu dikelilingi delapan pura lainnya masing-masing Pura Negara Gambuh Anglayang, Dalem Puri, Maduwe Karang, Patih, Pandita, Candri Manik, Gede dan Pura Sang Cempaka.
Menurut Prof. Armaya, di Pura Penegil Dharma semua umat harus mohon kesadaran terhadap fungsi panumadian supaya perjuangan hidup berhasil dengan baik. Orang yang bersembahyang ke pura ini harus dalam keadaan bersih lahir batin seperti balita.
"Jangan meminta hal-hal aneh seperti kekayaan berlebihan karena tidak akan berhasil. Begitupun niat-niat buruk, tidak akan mempan dilakukan di Pura Penegil Dharma," ucapnya.
Sementara itu, salah seorang pemangku di Pura Penegil Dharma Jro Mangku Gede Nyoman Sara mengatakan pura ini berada di lahan seluas sekitar 1,5 hektar. Piodalan di pura ini berlangsung setiap enam bulan, yaitu saat Buda Manis Julungwangi. Pura ini disungsung seluruh masyarakat Buleleng dan Bali.
Pangemongnya dari Desa Pakraman Kubutambahan yang terdiri atas Pasaren, Teruna dan Pemaksan. Jumlahnya lebih dari 500 orang. Para pangemong ini yang menyiapkan segala upacara yang berlangsung di Pura Penegil Dharma.

Berita Terkait Lainnya:

Share this product :