photo Dewata_zps19e63d5d.gif

Apa Kabar "Drama Gong Buleleng" ???

Apa Kabar "Drama Gong Buleleng" ???
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeLuVo2XIiMWkzs2M0wul0D0-QDNgUZCgrZE-U9jlcGZ9AjnhJtqdxcBcSKZcFMLYOlpmsfo8P7cCY5cxhpMLbINx1COr4EyqS4JXAXFnz_AWOpRZHYcS8los3idKmup0iqaY_2HfkCg/s72-c/drama+gong.jpg
BULELENG,
Masih adakah sekaa drama gong di Buleleng? Agaknya karya panggung yang lahir sekitar tahun 1960-an, hasil perkawinan seni tonil atau sandiwara melayu dengan gong kebyar, beberapa tahun ini mulai ditinggalkan oleh seniman-seniman Buleleng. Meski pementasan drama gong masih semarak dan kerap tampil di televisi, itu bukanlah berasal dari sekaa drama gong Buleleng. Lantas, ke mana drama gong Buleleng?
PEMENTASAN drama gong memang masih semarak dan kerap tampil di televisi, namun itu bukanlah berasal dari sekaa drama gong Buleleng. Yang memastikan itu bukan sekaa drama gong Buleleng antara lain logat bahasanya, peristiwa dramatiknya, serta garapan artistik panggungnya yang tak memakai layar-layar berlukiskan panorama dalam setiap pergantian adegannya. Hal itulah merupakan ciri drama gong gaya Buleleng yang merupakan sebuah warna lain yang mulai dilupakan oleh penggemar drama gong.
Sementara pada tahun 1970-1980, degup detak sekaa drama Gong Buleleng sangat riuh. Mereka sangat terkenal. Melanglang pentas tidak hanya di seputar Kabupaten Buleleng, juga ke panggung-panggung desa di kabupaten lainnya di Bali bahkan hingga ke Lombok. Sebut misalnya sekaa drama gong Puspa Anom dari Desa Banyuning yang tampil monumental dengan lakon cerita saduran dari Cina, "Sampek Ing Tay". Pementasannya merambah hingga ke Lombok selama belasan hari berturut-turut. Yang membanggakan, pementasannya tak hanya ditujukan untuk menghibur, tapi kerap ditangap dalam rangka penggalian dana untuk perbaikan dan pembangunan Bale Banjar.
Kebanggaan itu sebetulnya tidak hanya dinikmati oleh para senimannya, juga memberi imbas kebanggaan pada masyarakat Buleleng. Namun kini kebanggaan terhadap sekaa drama gong Buleleng hanya tinggal sepenggal kenangan yang tercatat tanpa tinta dalam benak penontonnya. Sejumlah sekaa drama gong Buleleng yang berasal dari Desa Banyuning, Sanggalangit, Tukadmungga, Sawan dan Penarukan nyaris tak terdengar beritanya.
Kesuksesan sekaa drama gong yang kebanjiran order pentas pada masanya menjadi semacam legenda saja. Hanya sesekali sekaa drama gong Banyuning didaulat pentas memenuhi permintaan seseorang dalam rangka membayar kaul yang tak sempat dibayar pada masa kejayaan sekaa tersebut. Kemudian sekitar tahun 2002, Sanggar Dwi Mekar pernah membuat duplikat drama "Sampek Ing Tay", namun usaha revitalisasi ini tidak mampu mengulang kesuksesan sekaa drama gong Puspa Anom.
Tetapi kepiawaian sekaa drama gong Buleleng masih menampakan jejaknya pada setiap festival drama gong anak-anak maupun remaja se-Bali. Dalam event festival, drama gong yang pernah diselenggarakan dalam Pesta Kesenian Bali itu, drama gong anak-anak dan remaja duta Buleleng sering mengungguli drama gong remaja dari kabupaten-kabupaten lainnya. Sayangnya, keunggulan sekaa drama gong anak-anak dan remaja itu hanya berhenti pada prestasi pada lomba. Sesudah lomba mereka tak mengolah lagi sekaa-nya menjadi sekaa yang tumbuh mandiri dan profesional, sebagaimana para pendahulunya. Hal inilah yang menyebabkan sekaa drama gong Buleleng tak memiliki kelanjutannya.
***
Ada yang menduga, popularitas drama gong Buleleng memudar ketika sejumlah sekaa drama gong dari Gianyar, Denpasar dan Bangli bermunculan. Sekaa drama gong yang memiliki bintang lawakan terkenal semacam Petruk, Dolar, Dadad, Kiul, Komang Apel, Lodra, Sukerti, Yudane, Rawit, Codet, Cedil, Sugita, Sulasmi, Gung Mayun dan seterusnya. Selain menyuguhkan cerita yang baru juga full dengan lawakan yang tak kurang dibawakan oleh empat pelawak serta para pemerannya memakai bahasa berkarakteristik lembut. Performance ini tentu beda dengan sekehe drama gong Buleleng yang menampilkan lawakan secukupnya serta menggunakan ucapan khas Buleleng yang cenderung naturalis ekspresif, apa adanya sebagaimana pengucapan bahasa gaya masyarakat Buleleng.
Kehadiran televisi Denpasar yang kala itu merupakan media baru yang tengah digandrungi publik ikut juga "mengubur" sekaa drama gong Buleleng. Sebab, jarang media kaca itu tak memberi peluang sekaa drama gong Buleleng tampil dalam media tersebut sehingga publik makin melupakannya. Bahkan masyarakat Buleleng yang dulu menjadi publik utama drama gong Buleleng pun melupakan sekaa-sekaa drama Gong Buleleng. Ironis memang.
Keberadaan sebuah sekaa drama gong memang tak bisa dipisahkan dengan penontonnya. Sekaa tetap hidup jika order pentas mengalir, sebaliknya sekaa mati ketika penontonnya mulai tak menanggapnya lagi. Hubungan dagang ini sebetulnya bisa disiasati jika saja sekaa-sekaa drama gong rajin menyikapi permintaan publiknya. Salah satunya adalah masalah suksesi keaktoran. Sisi inilah yang kurang diperhatikan oleh sekehe drama gong Buleleng, padahal masalah ini sangat perlu. Perjalanan waktu, tentu membuat aktor drama gong menua secara energi dan pisik, sementara kisah yang dipanggungkan memerlukan peran muda.
Hal ini memang tak mudah, sebab aktor-aktor drama gong tak direkrut melalui pelatihan sebagaimana seniman tari, tabuh maupun teater modern. Kepiawaian aktor drama gong tumbuh masak dalam perjalanan pentasnya. Tetapi usaha penyegaran tetap ada dengan jalan "mengebon" (meminjam) dari sekaa lain, baik untuk pemeran muda maupun pelawaknya. Namun karena bersifat insidental, para pemeran "bon"-an itu tak mampu menyatu terutama dalam hal melakukan improvisasi kelompok. Inilah yang melunturkan greget tontonan drama gong Buleleng di mata penontonnya. Sensasi lainnya yang masih bisa dikembangkan untuk memikat penonton adalah kekuatan artistik serta trik-trik spektakuler. Contoh yang paling nyata kita lihat adalah ketika sebuah televisi di Jakarta menghidupkan kesenian ketoprak. Dengan label Ketoprak humor, ditampilkan bintang tamu dari kalangan selebritis. Namun untuk sementara sekaa drama gong cukup mengundang selebritis lokal, pejabat Gubernur, Bupati, Camat, Kepala Desa, bahkan seorang Pecalang sekalipun yang cukup populer di wilayah pementasan diadakan. Selain itu penataan artististik ditata lebih api dan variatif demikian pula kostum maupun trik-triknya.
Dalam hal kebiasaan melakukan improvisasi total yang hanya mengandalkan jalinan cerita pun perlu dipertimbangkan lagi. Sudah saatnya sebuah sekaa drama gong memiliki seorang penulis naskah, sutradara, koreografer, penata lampu, penata musik, kritikus pengembangan kualitas performance sekaa, bahkan bila perlu diadakan seorang manajer. Akankah sekaa drama gong Buleleng punah di tengah langkanya kesenian pop tradisional yang ada di Buleleng? Akankah drama gong gaya Buleleng lenyap? Para pemikir budaya, seniman-seniman lawas drama gong Buleleng dan pemegang kebijakan kebudayaan di Buleleng perlu memikirkannya. Sebab, jika dibiarkan punah, wajar saja masyarakat yang haus akan hiburan kesenian pop tradisional tak punya pilihan tontonan lagi selain menanggapi joged erotis, sebagaimana yang terjadi di suatu pelosok desa.




Berita Terkait Lainnya:

Share this product :